Kamis, 04 Juni 2015

Jujur, aku merindukanmu

#Perlahan, waktu ku terasa hambar tanpa merindukan sosokmu

Menit yang menyatu kembali dengan semua ingatan tentangmu. Aku masih saja seperti ini. Terdiam di pangkuan rerumputan yang pernah menjadi saksi pertemuan “kita”. Aku sudah seperti tak waras, tersenyum sendiri saat mataku menerawang sosokmu yang seolah-olah sedang merajuk manja di hadapanku.

Mungkin kamu tidak akan pernah tau bagaimana sebenarnya cerita sebentuk hati yang ku miliki. Karena memang kamu tidak pernah ingin tau. Kamu hanya selalu menutup mata setiap kali aku melihatmu. Selalu menyumpal telinga saat aku mulai bercerita tentang “cinta”. Saat aku dengan sepenuh hati mengatakan “aku sayang kamu” malah kamu tanggapi tak berhati. Apalagi kamu memang orang yang tidak pernah perduli dengan perasaan orang lain. Kamu hanya kamu, tidak pernah ada aku dan “kita”.

Hari ini, aku bukan ingin berdebat masalah “cinta”. Aku akan memberitaumu tentang pecahan rasa yang tidak pernah ingin kamu mengerti. Dan tulisan-tulisan aneh yang selalu saja terselip tentangmu.

Aku gadis aneh, bukan ? melupakanmu saja putus asa. Sebenarnya, bukan karena kamu lelaki pertama yang mengajariku getaran rasa. Tapi karena kamu berhasil membuatku menjadi orang lain setiap kali di sampingmu. Kamu berhasil membuatku menjadi sosok yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku punya ketulusan, kekuatan, serta kebahagiaan yang bisa menyamarkan kesedihan. Aku berhasil memilikinya saat aku bersamamu.

Jangankan siluet tubuhmu yang masih bisa ku kenali tanpa cahaya, aroma parfum mu yang khas pun masih tersimpan rapi di penciumanku. Pujian manja yang kamu gunakan masih berlalu lalang di lintasan memoriku. Dan cara bicaramu yang lucu masih belum terkikis di pendengaranku. Hhh... menjadi beban saja untuk membuat cerita baru.

Aku tidak mengerti dengan konsep hati yang begitu peka terhadapmu. Aku selalu risih setiap kali bertemu dan mendengar “nama” yang sama dengan sepotong namamu. Rasanya,  itu seperti kamu yang menggagalkan kepergianmu dan kembali menjadi sosok yang lain. Bukankah itu gila ? nama ya nama orang, ko aku yang panas ?

Saat ini, di tengah kesibukanku belajar untuk tes minggu depan, aku merindukanmu.

Kemarin sore, saat aku sedang mengunjungi rumah teman baikku. Aku memperhatikan dua orang anak kecil yang sedang bermain perahu kertas di sebuah kolam. Mungkin kamu berfikir biasa-biasa saja dan berkomentar “Ah, itu mah biasa permainan anak kecil.” Tapi tidak untukku. Justru itu seperti kembali pada musim hujan di hari senin enam tahun lalu. Saat pulang lomba dari kabupaten, tiba-tiba saja hujan menyapa. Aku, kamu dan pak guru berteduh di sebuah sekolah. Mungkin karena kamu begitu tertarik melihat kolam kecil di depan bangunan itu atau mungkin dengan kecantikan hujan menit itu, akhirnya kamu merangkai dua buah perahu kertas yang kamu berikan satu untukku. Kemudian, kamu mengajakku melayarkannya di kolam itu. Kamu mulai tertawa lucu dan berceloteh dengan serunya sambil mengejekku dengan sedikit rayuan.

Ah iya, aku hampir keceplosan mengumbar semuanya. Mana mungkin kamu ingat dengan hari itu, iyakan ? kamu pasti sudah mengupas habis kulit-kulit ingatan masa lalu. Tentu saja, hanya gadis bodoh sepertiku yang memiliki ingatan abadi dan detail cerita itu.


Meskipun aku yakin, kamu pasti sudah lupa dengan barisan lirik yang tertumpah dalam kenangan. Semoga tidak pernah ada sebutan “karma” untukmu, yang akan begitu dalam merindukan seseorang yang telah pergi, sepertiku.

Sabtu, 17 Januari 2015

:'( *



A broken vow


Katakan padaku, jalan terbaik yang harus ku tempuh saat perasaanku terkhianati.

Balkon kenangan yang selalu mengingatkanku pada waktu itu, saat hatiku masih milikmu. Masih jelas di benakku, ikrar hati yang kamu alunkan di tempat itu berhasil menggetarkan seluruh rasaku. Lalu, entah bagaimana bunga-bunga musim gugur bak gerimis di senja itu datang sebagai saksi dari ikrar yang kamu nyatakan. Sunyi nan indahnya awal kisah “kita”. Tak hentinya senyumanku terlatar setiap pandangan “kita” bertemu.

Hari-hari selanjutnya…

Ada sebait hal yang sebelumnya tak pernah ku temui darimu, hadir begitu saja dan menyihir segalanya. Tak butuh waktu lama, semuanya berubah.

Katakan padaku, siapa sebenarnya gadis itu ? aku ingin mengenalnya. Aku ingin tau bagaimana caranya melihatmu, hingga dalam sekejap kamu tak lagi di sampingku. Dimana kamu ? saat aku begitu sibuknya memahami apa yang sedang terjadi. Saat aku berusaha mencari tau problema yang mengubah “kita” menjadi “aku” dan “kamu”.

Beri aku penjelasan ! siapa yang telah menghancurkan kepercayaanku selama ini ?! siapa yang setega itu menjauh saat aku terbenam dalam kesendirian ?! mana kebahagiaan yang selalu kamu janjikan menjadi milikku ?! apa mungkin itu hanya suara belaka ? lalu, kurang apa kesetiaanku untuk sebentuk hati yang kamu miliki ?! 

Beritau aku senyuman yang tak bisa ku latarkan bersamamu.

Tunjukkan aku air mata yang tak pernah kamu tumpahkan bersamaku.

Aku ingin tau, sejauh mana kamu peduli tentangku. Seperti aku yang setiap kali aku ingin membiarkanmu pergi, yang setiap kali aku ingin melepaskan semuanya tentangmu, tak hentinya aku bertanya “kenapa ?” 

Sejenak ku pejamkan mataku dan terbang di dunia mimpi. Mimpi itu, tentangku dan tentangmu. Tentang sebentuk hati yang terkhianati. Dan kemudian aku tersadar, ada banyak hal dalam hidup yang belum bisa ku mengerti, selain kepedihan dan dusta.

Meskipun dalam waktu yang lama bahkan mungkin hingga mataku tertutup, tentang “kita” akan selalu ku kenang. Juga, untuk terakhir kalinya akan ku korbankan segenap jiwaku, demi memandang wajahmu sekali lagi. Aku terus mencoba mengatakan tak akan membiarkan janji ini berakhir.  Tapi… bagaimanapun, kita sudah menemukan cara untuk menjaga hal lain lebih dari sekedar janji yang terkhianati.

:(



 Untuk Ayah :'(

 

Untuk seorang ayah yang tidak bisa ku terjemahkan sikapnya

Dear, ayah….
Apa yang sebenarnya terjadi ? kenapa rasanya begitu sulit berada di samping ayah ? sesak dalam untaian langkah yang teriring bersama ayah. Takut setiap kali bertatapan dan berbicara dengan ayah. 

Dear, ayah…
Akhir-akhir ini banyak sekali ketidakpastian yang aku temukan pada sikap ayah. Aku selalu berfikir tentang hari itu, saat sebuah pilihan yang aku tuju ternyata justru membuat ayah menjauhiku. Selalu jelas terlintas kata-kata ayah yang mengataiku “bodoh”. Aku masih belum mengerti dengan apa yang sudah aku lakukan hingga membuat ayah begitu marah padaku. Aku minta maaf, ayah. 

Dear, ayah…
Lihat aku ayah ! betapa menyedihkannya hari-hariku dengan ketidakpastian sikap ayah. Aku selalu ingat, ayah selalu menjadikanku satu-satunya putri kecil ayah. Dengan sepenuh hati ayah mengabulkan permintaanku. Ayah rela melakukan apa saja untukku, meskipun itu dalam istana malam yang begitu dingin. Bahkan tanpa beban sedikitpun ayah rela mendampingi dan menjagaku saat aku berada di negeri orang.

Tapi…
Apa yang salah dengan hari itu ? saat aku butuh bantuan ayah, tidak sedikitpun ayah menatapku. Justru ayah berbalik menyalahkanku. Itu sangat menyedihkan, ayah. Bagaimana mungkin aku akan meminta bantuan pada orang lain, sementara ayah sendiri tidak pernah mau membantuku ?!

Dear, ayah…
Putri kecil ayah selalu bersedih setiap kali tidak menemukan senyuman ayah. Bagaimana bisa ayah melakukan ini padaku ? meninggalkanku di sudut ruangan yang begitu gelap. Merapuhkan ketegaran yang selalu berusaha ku jaga. Benar-benar seperti ayah tidak lagi melihatku ! seperti ayah tidak perduli lagi denganku !

Taukah ayah ?

Hari tersulit dalam hidupku adalah ketika ayah melambaikan tangan saat akan pergi mengemban sebuah tugas. Sangat ingin aku menangis di depan ayah dan mengatakan “jangan pergi”. Tapi aku tidak ingin terlihat lemah di depan ayah. Aku ingin ayah hanya akan melihatku sebagai gadis yang tegar tanpa problema yang tidak bisa ku selesa keciikan.

Dear, ayah…
Katakan bahwa ayah selalu menyayangiku. Berjanjilah untuk kembali seperti waktu ayah selalu bermain bersamaku. Permainan melodi yang dulu selalu ayah mainkan bersamaku, aku ingin mendengarnya lagi !. Panorama yang dulu selalu ayah perlihatkan padaku, aku ingin melihatnya !.

Dari putri kecil ayah,
yang selalu merindukan ayah.
Dan selalu terhempas pada ketidakpastian sikap ayah.

:'(



 Just dreaming of you


Dear, a man…
Hujan pertama tahun itu mengajariku senyuman bersamamu. Perahu kertas yang kamu buat satu untukku dan satunya lagi untukmu, berlayar bersama dalam satu garis lurus. Tadinya aku fikir itu garis takdir, tapi nyatanya tidak lebih dari sebuah garis.

Saluran ingatanku tidak pernah bisa melupakan “kita” di antara aku dan kamu. Masih jelas terasa kehangatan genggaman jemarimu waktu itu. Jemariku, jemarimu berpaut dalam naungan gerimis tanpa penjelasan. Pendaratan lenganku di belakang bahumu yang terus saja membuatku heran dengan keberanianku melakukannya.

Rasa itu. Aku terus saja mengusirnya dari memori hidupku. Dengan keras aku melarangnya kembali. Berjalan pada memori baru dan menghempaskan kenangan. Aku sudah melakukannya. Tapi… bagaimana bisa rasa itu terhenti jika kamu selalu saja muncul di hadapanku ?! menyumbat kedua telingaku saat hampir mendengar candaanmu di seberang sana, menutup kedua mataku saat tidak sengaja bertemu denganmu, menutup hidungku saat aroma khasmu hampir tercium olehku. Haruskah aku melakukannya ?

Dear, a man…
Aku tengah terbenam dalam kebingungan akan konsep hati yang berakar terlalu dalam. Sampai-sampai dimanapun kamu berada, tidak pernah sekalipun pandanganku tidak melihatmu. Dan telingaku yang terlalu peka dengan suaramu. Seakan-akan aku tengah berada di dunia magic yang semuanya terjadi dengan kekuatan sihir.

Berpura-pura tidak mengenalmu, itu sangat menyakitkan. Menahan senyumanku setiap kali bertemu denganmu, itu seperti tangisan. Menghentikan getaran halus pertemuanku denganmu yang tanpa sengaja, itu lebih persis seperti ledakan. Aku sudah seperti orang aneh mencari alasan hati yang dengan mudahnya mencintaimu tapi begitu sulitnya melupakanmu.

“Gadis tak tau malu” 

Haruskah sebutan itu yang akan aku terima ? tidak mungkin aku dengan beraninya terus mencintaimu sementara di saat yang sama kamu mencintai orang lain. Aku yang dengan semangatnya berlari ke arahmu, dan di saat yang sama kamu berlari ke arah orang lain. Bagaimana bisa cerita itu terjadi ? menurutku itu hanya akan terjadi di film-film. Teramat dalam keinginanku menjadi “gadis terhormat” yang sejatinya mencintai seorang laki-laki yang juga mencintainya. Tanpa harus mengetuk kenyataan pada “cinta satu hati”.

Dear, a man…
Caraku meyakinkan diriku untuk melumpuhkan semuanya selalu saja gagal. Mustahil untukku mengatakan “cinta pertama” alasannya. Hingga segila ini belum bisa melupakannya. Perjalananku melupakanmu mungkin akan sedikit berhasil jika saja tidak ada ingatan itu yang tiba-tiba muncul. Tidak perlu orang lain yang membuatku kembali mengingatmu. Sosok wanita paruh baya yang teramat ku cintai bahkan menanyakanmu. Aku masih tidak mengerti alasannya tau dan memberitahuku tentang keluargamu.

seorang gadis yang terbenam perasaan.

Cerpen



 Hater Dad

# Bagaimana ia harus meletakkan kebencian di atas ketulusan cinta untuk ayahnya ?

Benar-benar seperti badai yang tidak pernah mampu terbaca. Sama halnya dengan jalan hidup seseorang yang tiba-tiba diterjang problema tanpa penyelesaian. Melin. Gadis berusia 17 tahun yang terjebak dalam keruntuhan keluarga kecilnya. Beberapa tahun lalu, ayahnya merantau ke negeri orang. Ia ditinggal bersama ibu dan dua adiknya yang masih kecil. Ibunya, hanya seorang pedagang kecil di rumah. 

Hari itu, di sekolah. Di tengah perbincangan tiba-tiba Melin mengajakku jalan-jalan. Tapi seperti ada sesuatu yang tengah berlaku.
“ Nidya ! jalan-jalan yuk.”
“ Kemana, Lin ?”
“ Kemana aja. Saya bosen di rumah, Nid.”
“ Lhaa, kenapa ? ada masalah ya ?”

Melin terdiam dengan ekspresi yang mudah saja ku tebak. Ada lukisan isak yang tertahan dalam diamnya. Pasti telah terjadi sesuatu, batinku. Pasti ! Lagipula akhir-akhir ini aku seperti menebak canda dan tawanya yang terpalsukan.
“ Kamu kenapa, Lin ?”
“ Orang tua saya bermasalah.”
“ Kalau boleh tau, masalahnya apa ?”
“ Ayah saya selingkuh. Awalnya saya nggak percaya dengan kabar itu, karena saya selalu percaya dengan ayah saya. Kalau sulit dihubungi dia selalu bilang sibuk kerja carikan saya dan adik-adik biaya sekolah. Dia selalu membantah dengan kabar perselingkuhan itu. Katanya, dia nggak mungkin menyakiti hati ibu saya dengan hal seperti itu. Dan saya percaya. Tapi ternyata kabar itu memang fakta. Saya bingung harus gimana ?”

Aku terhenyak mendengar penuturan seorang gadis yang sudah ku anggap sebagai teman baik ku. Sesaat aku meliriknya yang sibuk menghapus butiran air mata yang tanpa permisi dan tidak terhenti mengalir di wajahnya. Bagaimana mungkin itu terjadi ? rasanya baru kemarin Melin cerita tentang keharmonisan orang tuanya.
“ Emangnya siapa yang kasi tau kamu ? mungkin aja ada yang nggak suka dengan keharmonisan keluargamu, Lin.”
“ Enggak, Nid. Ayah saya satu wilayah rantauan dengan kakak ibu saya.”
“ Jadi, pamanmu yang menceritakan semuanya ?”

Dia hanya mengangguk pelan. Mungkin tidak tahan lagi untuk bicara dengan mata yang sudah lembab dengan tangisannya. Juga dengan kalimat yang sulit keluar dari pita suaranya. Sebenarnya ingin aku menepuk pundaknya dengan sebuah ketenangan, tapi urung ku lakukan. Lagipula aku hanya seorang teman. Aku berfikir tidak akan bisa membuatnya merasa sedikit nyaman. Bahkan jika iya, mungkin itu akan semakin membuatnya menyedihkan. Aku juga wanita, sama seperti Melin. Aku selalu menangis jika ada masalah yang tidak bisa ku selesaikan. Menurutku, menangis bukan cengeng. Tapi itu simbol sejatinya wanita. Jadi, ku biarkan saja Melin menangis. Dengan begitu, nantinya dia akan bangkit sendiri dan membayar semua air mata yang membuatnya terlihat menyedihkan.

***

Awal tahun baru yang sepi tanpa agenda liburan. Hujan juga hilang tanpa jejak. Hanya kilauan mentari yang menjumpai bumi. Untung saja ada Melin yang menemaniku jalan-jalan di taman kota. Aku bisa bernafas sejuk. Tapi sepertinya terbalik dengan Melin.
“ Tahun baru ini sangat menyakitkan, Nid.”
“ Haha… bukannya setiap hari kamu pergi liburan ya, Lin ? terus apanya yang menyakitkan ?”
“ Malam tahun baru membuat saya benar-benar benci ayah.”
“ Kenapa ?”
“ Ayah saya menikah lagi. Dia menikah dengan selingkuhannya dari Palembang.”

Haa ?! really ?

Bukan terkejut tepatnya. Karena mama pernah mengajarkanku untuk tidak terkejut dengan kejadian yang menimpa orang lain. Hanya saja aku sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Aku fikir masalah keluarga Melin sudah terselesaikan, tapi nyatanya waktu membawanya ke dalam puncak problema yang bahkan sulit diselesaikan.
“ Lhaa, kirain masalah yang waktu itu sudah selesai. Terus gimana sekarang ?”
“ Saya nggak pernah nyangka hal ini akan terjadi. Padahal rasanya baru kemarin orang tua saya bercanda dan tertawa bersama. Mereka seperti anak kecil. Sampai saya nggak bisa menahan kebahagiaan saya melihat mereka. Itu momen terindah dan mungkin yang terakhir yang pernah saya liat, Nid.”

Aku berhasil menangkap kesedihan mendalam yang tidak sengaja Melin tampilkan dengan senyuman yang sedikit dipaksa di sela-sela air matanya. Entah apa alasan senyuman itu, karena dia teringat canda rayu orang tuanya, mungkin. Awalnya aku ingin mengatakan “sabar”. Tapi aku segera tersadar dengan susunan huruf itu yang menurutku semakin terdengar menyedihkan. 

Pantas Melin sering bilang ingin kabur saja dari kehidupannya yang sekarang. Dia ingin pergi sejauh-jauhnya ke tempat di mana orang-orang tidak menemukannya dan mengasihaninya. Mungkin benar, tidak ada seorang pun yang tahan berkutik dengan kepedihan. Dan hanya merindukan senyuman bahagia. Ya, mau bagaimana lagi ? semuanya sudah di atur sang Pencipta. Tidak seorangpun bisa mengatakan “tidak”.
“ Saya nggak masalah dengan hal ini, karena memang sudah terbiasa dengan pertengkaran awal orang tua saya. Tapi bagaimana dengan adik-adik saya ? mereka terlalu kecil untuk tau semua yang terjadi.”
“ Iya. Aku ngerti. Tapi kenapa ayahmu nggak pulang untuk menyelesaikan semuanya baik-baik ?”
“ Nggak perlu, Nid. Semua bukti sudah cukup. Sekarang, ibu saya lagi bingung dengan biaya sekolah saya dan adik-adik. Mau cari dimana ?”
“ Memangnya ayah kamu sudah lepas tanggung jawab, ya ? sampai harus ibu kamu terbebani sendiri ?”
“ Entahlah. Yang jelas, ibu saya sudah minta cerai.”

Cerai ?! 

Aku tidak pernah berharap mendengar lagi kata itu untuk kesekian kalinya dari orang-orang terdekat ku. Aku ingin susunan huruf itu tidak pernah ku ketahui maknanya dan kutemui alasannya. Cukup mengerikan untuk mendengarnya saja. Apalagi menyaksikan alur ceritanya. Sempat bingung dengan fikiran setiap pasangan dalam rumah tangga yang memilih “cerai” sebagai pilihan terakhir. Apa mereka tidak memikirkan kelanjutan cerita anak-anaknya, untuk mereka yang mempunyai anak ? dan bagaimana dengan setelahnya mereka akan dicap sebagai janda dan duda ? padahal sudah banyak kasus perceraian yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Kenapa mereka tidak belajar dari itu saja ? dan membina keluarga kecil yang bahagia seutuhnya.

Apa yang sebenar-benarnya berlaku dalam hati setiap insan ? sulit sekali untuk mereka saling mengerti satu sama lain. Bahkan sulit untuk menghalau keinginan hati yang mendua dan hanya mempertahankan satu nama. Siapa bilang itu tidak bisa ? pasti bisa jika itu atas kehendak kita sendiri. Coba lihat kesejatian cinta Pak Habibie yang begitu tulusnya untuk Bu Ainun. Atau mungkin pasangan lainnya yang bisa bertahan hingga tangan Tuhan menjemputnya.
 “ Saya nggak butuh lagi sosok yang namanya ayah. Terserah bagaimana hidupnya dan apa yang buat dia senang, saya nggak perduli. Saya akan buktikan kalau saya sendiri yang akan buat ibu saya bahagia, meskipun tanpa seorang ayah. Saya nggak akan pernah biarin ibu saya nangis lagi.”

Jika saja saat ini aku dan Melin tidak berada di tempat umum, mungkin wajahnya sudah basah dengan air mata. Tangisan itu tertahan untuk saat ini. Digantikan dengan mata basah yang teralir dari batin yang cukup tertekan. Aku tidak yakin persisnya seperti apa. Tapi tentu saja sangat menyakitkan.