Hater Dad
#
Bagaimana ia harus meletakkan kebencian di atas ketulusan cinta untuk ayahnya ?
Benar-benar
seperti badai yang tidak pernah mampu terbaca. Sama halnya dengan jalan hidup
seseorang yang tiba-tiba diterjang problema tanpa penyelesaian. Melin. Gadis berusia
17 tahun yang terjebak dalam keruntuhan keluarga kecilnya. Beberapa tahun lalu,
ayahnya merantau ke negeri orang. Ia ditinggal bersama ibu dan dua adiknya yang
masih kecil. Ibunya, hanya seorang pedagang kecil di rumah.
Hari
itu, di sekolah. Di tengah perbincangan tiba-tiba Melin mengajakku jalan-jalan.
Tapi seperti ada sesuatu yang tengah berlaku.
“
Nidya ! jalan-jalan yuk.”
“
Kemana, Lin ?”
“
Kemana aja. Saya bosen di rumah, Nid.”
“
Lhaa, kenapa ? ada masalah ya ?”
Melin
terdiam dengan ekspresi yang mudah saja ku tebak. Ada lukisan isak yang
tertahan dalam diamnya. Pasti telah terjadi sesuatu, batinku. Pasti ! Lagipula
akhir-akhir ini aku seperti menebak canda dan tawanya yang terpalsukan.
“
Kamu kenapa, Lin ?”
“
Orang tua saya bermasalah.”
“
Kalau boleh tau, masalahnya apa ?”
“
Ayah saya selingkuh. Awalnya saya nggak percaya dengan kabar itu, karena saya
selalu percaya dengan ayah saya. Kalau sulit dihubungi dia selalu bilang sibuk
kerja carikan saya dan adik-adik biaya sekolah. Dia selalu membantah dengan
kabar perselingkuhan itu. Katanya, dia nggak mungkin menyakiti hati ibu saya
dengan hal seperti itu. Dan saya percaya. Tapi ternyata kabar itu memang fakta.
Saya bingung harus gimana ?”
Aku
terhenyak mendengar penuturan seorang gadis yang sudah ku anggap sebagai teman
baik ku. Sesaat aku meliriknya yang sibuk menghapus butiran air mata yang tanpa
permisi dan tidak terhenti mengalir di wajahnya. Bagaimana mungkin itu terjadi
? rasanya baru kemarin Melin cerita tentang keharmonisan orang tuanya.
“
Emangnya siapa yang kasi tau kamu ? mungkin aja ada yang nggak suka dengan
keharmonisan keluargamu, Lin.”
“
Enggak, Nid. Ayah saya satu wilayah rantauan dengan kakak ibu saya.”
“
Jadi, pamanmu yang menceritakan semuanya ?”
Dia
hanya mengangguk pelan. Mungkin tidak tahan lagi untuk bicara dengan mata yang
sudah lembab dengan tangisannya. Juga dengan kalimat yang sulit keluar dari
pita suaranya. Sebenarnya ingin aku menepuk pundaknya dengan sebuah ketenangan,
tapi urung ku lakukan. Lagipula aku hanya seorang teman. Aku berfikir tidak
akan bisa membuatnya merasa sedikit nyaman. Bahkan jika iya, mungkin itu akan
semakin membuatnya menyedihkan. Aku juga wanita, sama seperti Melin. Aku selalu
menangis jika ada masalah yang tidak bisa ku selesaikan. Menurutku, menangis
bukan cengeng. Tapi itu simbol sejatinya wanita. Jadi, ku biarkan saja Melin
menangis. Dengan begitu, nantinya dia akan bangkit sendiri dan membayar semua air
mata yang membuatnya terlihat menyedihkan.
***
Awal
tahun baru yang sepi tanpa agenda liburan. Hujan juga hilang tanpa jejak. Hanya
kilauan mentari yang menjumpai bumi. Untung saja ada Melin yang menemaniku
jalan-jalan di taman kota. Aku bisa bernafas sejuk. Tapi sepertinya terbalik
dengan Melin.
“
Tahun baru ini sangat menyakitkan, Nid.”
“
Haha… bukannya setiap hari kamu pergi liburan ya, Lin ? terus apanya yang
menyakitkan ?”
“
Malam tahun baru membuat saya benar-benar benci ayah.”
“
Kenapa ?”
“
Ayah saya menikah lagi. Dia menikah dengan selingkuhannya dari Palembang.”
Haa
?! really ?
Bukan
terkejut tepatnya. Karena mama pernah mengajarkanku untuk tidak terkejut dengan
kejadian yang menimpa orang lain. Hanya saja aku sedikit tidak percaya dengan
apa yang baru saja ku dengar. Aku fikir masalah keluarga Melin sudah
terselesaikan, tapi nyatanya waktu membawanya ke dalam puncak problema yang
bahkan sulit diselesaikan.
“
Lhaa, kirain masalah yang waktu itu sudah selesai. Terus gimana sekarang ?”
“
Saya nggak pernah nyangka hal ini akan terjadi. Padahal rasanya baru kemarin
orang tua saya bercanda dan tertawa bersama. Mereka seperti anak kecil. Sampai
saya nggak bisa menahan kebahagiaan saya melihat mereka. Itu momen terindah dan
mungkin yang terakhir yang pernah saya liat, Nid.”
Aku
berhasil menangkap kesedihan mendalam yang tidak sengaja Melin tampilkan dengan
senyuman yang sedikit dipaksa di sela-sela air matanya. Entah apa alasan
senyuman itu, karena dia teringat canda rayu orang tuanya, mungkin. Awalnya aku
ingin mengatakan “sabar”. Tapi aku segera tersadar dengan susunan huruf itu
yang menurutku semakin terdengar menyedihkan.
Pantas
Melin sering bilang ingin kabur saja dari kehidupannya yang sekarang. Dia ingin
pergi sejauh-jauhnya ke tempat di mana orang-orang tidak menemukannya dan
mengasihaninya. Mungkin benar, tidak ada seorang pun yang tahan berkutik dengan
kepedihan. Dan hanya merindukan senyuman bahagia. Ya, mau bagaimana lagi ?
semuanya sudah di atur sang Pencipta. Tidak seorangpun bisa mengatakan “tidak”.
“
Saya nggak masalah dengan hal ini, karena memang sudah terbiasa dengan pertengkaran
awal orang tua saya. Tapi bagaimana dengan adik-adik saya ? mereka terlalu
kecil untuk tau semua yang terjadi.”
“
Iya. Aku ngerti. Tapi kenapa ayahmu nggak pulang untuk menyelesaikan semuanya
baik-baik ?”
“
Nggak perlu, Nid. Semua bukti sudah cukup. Sekarang, ibu saya lagi bingung
dengan biaya sekolah saya dan adik-adik. Mau cari dimana ?”
“
Memangnya ayah kamu sudah lepas tanggung jawab, ya ? sampai harus ibu kamu
terbebani sendiri ?”
“
Entahlah. Yang jelas, ibu saya sudah minta cerai.”
Cerai
?!
Aku
tidak pernah berharap mendengar lagi kata itu untuk kesekian kalinya dari
orang-orang terdekat ku. Aku ingin susunan huruf itu tidak pernah ku ketahui
maknanya dan kutemui alasannya. Cukup mengerikan untuk mendengarnya saja.
Apalagi menyaksikan alur ceritanya. Sempat bingung dengan fikiran setiap
pasangan dalam rumah tangga yang memilih “cerai” sebagai pilihan terakhir. Apa
mereka tidak memikirkan kelanjutan cerita anak-anaknya, untuk mereka yang
mempunyai anak ? dan bagaimana dengan setelahnya mereka akan dicap sebagai
janda dan duda ? padahal sudah banyak kasus perceraian yang menghancurkan masa
depan anak-anak bangsa. Kenapa mereka tidak belajar dari itu saja ? dan membina
keluarga kecil yang bahagia seutuhnya.
Apa
yang sebenar-benarnya berlaku dalam hati setiap insan ? sulit sekali untuk
mereka saling mengerti satu sama lain. Bahkan sulit untuk menghalau keinginan
hati yang mendua dan hanya mempertahankan satu nama. Siapa bilang itu tidak
bisa ? pasti bisa jika itu atas kehendak kita sendiri. Coba lihat kesejatian
cinta Pak Habibie yang begitu tulusnya untuk Bu Ainun. Atau mungkin pasangan
lainnya yang bisa bertahan hingga tangan Tuhan menjemputnya.
“ Saya nggak butuh lagi sosok yang namanya
ayah. Terserah bagaimana hidupnya dan apa yang buat dia senang, saya nggak
perduli. Saya akan buktikan kalau saya sendiri yang akan buat ibu saya bahagia,
meskipun tanpa seorang ayah. Saya nggak akan pernah biarin ibu saya nangis
lagi.”
Jika
saja saat ini aku dan Melin tidak berada di tempat umum, mungkin wajahnya sudah
basah dengan air mata. Tangisan itu tertahan untuk saat ini. Digantikan dengan
mata basah yang teralir dari batin yang cukup tertekan. Aku tidak yakin
persisnya seperti apa. Tapi tentu saja sangat menyakitkan.