Sabtu, 17 Januari 2015

Cerpen



 Hater Dad

# Bagaimana ia harus meletakkan kebencian di atas ketulusan cinta untuk ayahnya ?

Benar-benar seperti badai yang tidak pernah mampu terbaca. Sama halnya dengan jalan hidup seseorang yang tiba-tiba diterjang problema tanpa penyelesaian. Melin. Gadis berusia 17 tahun yang terjebak dalam keruntuhan keluarga kecilnya. Beberapa tahun lalu, ayahnya merantau ke negeri orang. Ia ditinggal bersama ibu dan dua adiknya yang masih kecil. Ibunya, hanya seorang pedagang kecil di rumah. 

Hari itu, di sekolah. Di tengah perbincangan tiba-tiba Melin mengajakku jalan-jalan. Tapi seperti ada sesuatu yang tengah berlaku.
“ Nidya ! jalan-jalan yuk.”
“ Kemana, Lin ?”
“ Kemana aja. Saya bosen di rumah, Nid.”
“ Lhaa, kenapa ? ada masalah ya ?”

Melin terdiam dengan ekspresi yang mudah saja ku tebak. Ada lukisan isak yang tertahan dalam diamnya. Pasti telah terjadi sesuatu, batinku. Pasti ! Lagipula akhir-akhir ini aku seperti menebak canda dan tawanya yang terpalsukan.
“ Kamu kenapa, Lin ?”
“ Orang tua saya bermasalah.”
“ Kalau boleh tau, masalahnya apa ?”
“ Ayah saya selingkuh. Awalnya saya nggak percaya dengan kabar itu, karena saya selalu percaya dengan ayah saya. Kalau sulit dihubungi dia selalu bilang sibuk kerja carikan saya dan adik-adik biaya sekolah. Dia selalu membantah dengan kabar perselingkuhan itu. Katanya, dia nggak mungkin menyakiti hati ibu saya dengan hal seperti itu. Dan saya percaya. Tapi ternyata kabar itu memang fakta. Saya bingung harus gimana ?”

Aku terhenyak mendengar penuturan seorang gadis yang sudah ku anggap sebagai teman baik ku. Sesaat aku meliriknya yang sibuk menghapus butiran air mata yang tanpa permisi dan tidak terhenti mengalir di wajahnya. Bagaimana mungkin itu terjadi ? rasanya baru kemarin Melin cerita tentang keharmonisan orang tuanya.
“ Emangnya siapa yang kasi tau kamu ? mungkin aja ada yang nggak suka dengan keharmonisan keluargamu, Lin.”
“ Enggak, Nid. Ayah saya satu wilayah rantauan dengan kakak ibu saya.”
“ Jadi, pamanmu yang menceritakan semuanya ?”

Dia hanya mengangguk pelan. Mungkin tidak tahan lagi untuk bicara dengan mata yang sudah lembab dengan tangisannya. Juga dengan kalimat yang sulit keluar dari pita suaranya. Sebenarnya ingin aku menepuk pundaknya dengan sebuah ketenangan, tapi urung ku lakukan. Lagipula aku hanya seorang teman. Aku berfikir tidak akan bisa membuatnya merasa sedikit nyaman. Bahkan jika iya, mungkin itu akan semakin membuatnya menyedihkan. Aku juga wanita, sama seperti Melin. Aku selalu menangis jika ada masalah yang tidak bisa ku selesaikan. Menurutku, menangis bukan cengeng. Tapi itu simbol sejatinya wanita. Jadi, ku biarkan saja Melin menangis. Dengan begitu, nantinya dia akan bangkit sendiri dan membayar semua air mata yang membuatnya terlihat menyedihkan.

***

Awal tahun baru yang sepi tanpa agenda liburan. Hujan juga hilang tanpa jejak. Hanya kilauan mentari yang menjumpai bumi. Untung saja ada Melin yang menemaniku jalan-jalan di taman kota. Aku bisa bernafas sejuk. Tapi sepertinya terbalik dengan Melin.
“ Tahun baru ini sangat menyakitkan, Nid.”
“ Haha… bukannya setiap hari kamu pergi liburan ya, Lin ? terus apanya yang menyakitkan ?”
“ Malam tahun baru membuat saya benar-benar benci ayah.”
“ Kenapa ?”
“ Ayah saya menikah lagi. Dia menikah dengan selingkuhannya dari Palembang.”

Haa ?! really ?

Bukan terkejut tepatnya. Karena mama pernah mengajarkanku untuk tidak terkejut dengan kejadian yang menimpa orang lain. Hanya saja aku sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Aku fikir masalah keluarga Melin sudah terselesaikan, tapi nyatanya waktu membawanya ke dalam puncak problema yang bahkan sulit diselesaikan.
“ Lhaa, kirain masalah yang waktu itu sudah selesai. Terus gimana sekarang ?”
“ Saya nggak pernah nyangka hal ini akan terjadi. Padahal rasanya baru kemarin orang tua saya bercanda dan tertawa bersama. Mereka seperti anak kecil. Sampai saya nggak bisa menahan kebahagiaan saya melihat mereka. Itu momen terindah dan mungkin yang terakhir yang pernah saya liat, Nid.”

Aku berhasil menangkap kesedihan mendalam yang tidak sengaja Melin tampilkan dengan senyuman yang sedikit dipaksa di sela-sela air matanya. Entah apa alasan senyuman itu, karena dia teringat canda rayu orang tuanya, mungkin. Awalnya aku ingin mengatakan “sabar”. Tapi aku segera tersadar dengan susunan huruf itu yang menurutku semakin terdengar menyedihkan. 

Pantas Melin sering bilang ingin kabur saja dari kehidupannya yang sekarang. Dia ingin pergi sejauh-jauhnya ke tempat di mana orang-orang tidak menemukannya dan mengasihaninya. Mungkin benar, tidak ada seorang pun yang tahan berkutik dengan kepedihan. Dan hanya merindukan senyuman bahagia. Ya, mau bagaimana lagi ? semuanya sudah di atur sang Pencipta. Tidak seorangpun bisa mengatakan “tidak”.
“ Saya nggak masalah dengan hal ini, karena memang sudah terbiasa dengan pertengkaran awal orang tua saya. Tapi bagaimana dengan adik-adik saya ? mereka terlalu kecil untuk tau semua yang terjadi.”
“ Iya. Aku ngerti. Tapi kenapa ayahmu nggak pulang untuk menyelesaikan semuanya baik-baik ?”
“ Nggak perlu, Nid. Semua bukti sudah cukup. Sekarang, ibu saya lagi bingung dengan biaya sekolah saya dan adik-adik. Mau cari dimana ?”
“ Memangnya ayah kamu sudah lepas tanggung jawab, ya ? sampai harus ibu kamu terbebani sendiri ?”
“ Entahlah. Yang jelas, ibu saya sudah minta cerai.”

Cerai ?! 

Aku tidak pernah berharap mendengar lagi kata itu untuk kesekian kalinya dari orang-orang terdekat ku. Aku ingin susunan huruf itu tidak pernah ku ketahui maknanya dan kutemui alasannya. Cukup mengerikan untuk mendengarnya saja. Apalagi menyaksikan alur ceritanya. Sempat bingung dengan fikiran setiap pasangan dalam rumah tangga yang memilih “cerai” sebagai pilihan terakhir. Apa mereka tidak memikirkan kelanjutan cerita anak-anaknya, untuk mereka yang mempunyai anak ? dan bagaimana dengan setelahnya mereka akan dicap sebagai janda dan duda ? padahal sudah banyak kasus perceraian yang menghancurkan masa depan anak-anak bangsa. Kenapa mereka tidak belajar dari itu saja ? dan membina keluarga kecil yang bahagia seutuhnya.

Apa yang sebenar-benarnya berlaku dalam hati setiap insan ? sulit sekali untuk mereka saling mengerti satu sama lain. Bahkan sulit untuk menghalau keinginan hati yang mendua dan hanya mempertahankan satu nama. Siapa bilang itu tidak bisa ? pasti bisa jika itu atas kehendak kita sendiri. Coba lihat kesejatian cinta Pak Habibie yang begitu tulusnya untuk Bu Ainun. Atau mungkin pasangan lainnya yang bisa bertahan hingga tangan Tuhan menjemputnya.
 “ Saya nggak butuh lagi sosok yang namanya ayah. Terserah bagaimana hidupnya dan apa yang buat dia senang, saya nggak perduli. Saya akan buktikan kalau saya sendiri yang akan buat ibu saya bahagia, meskipun tanpa seorang ayah. Saya nggak akan pernah biarin ibu saya nangis lagi.”

Jika saja saat ini aku dan Melin tidak berada di tempat umum, mungkin wajahnya sudah basah dengan air mata. Tangisan itu tertahan untuk saat ini. Digantikan dengan mata basah yang teralir dari batin yang cukup tertekan. Aku tidak yakin persisnya seperti apa. Tapi tentu saja sangat menyakitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar