Just dreaming of you
Dear, a man…
Hujan pertama tahun itu mengajariku senyuman bersamamu. Perahu kertas
yang kamu buat satu untukku dan satunya lagi untukmu, berlayar bersama dalam
satu garis lurus. Tadinya aku fikir itu garis takdir, tapi nyatanya tidak lebih
dari sebuah garis.
Saluran ingatanku tidak pernah bisa melupakan “kita” di antara aku dan
kamu. Masih jelas terasa kehangatan genggaman jemarimu waktu itu. Jemariku,
jemarimu berpaut dalam naungan gerimis tanpa penjelasan. Pendaratan lenganku di
belakang bahumu yang terus saja membuatku heran dengan keberanianku
melakukannya.
Rasa itu. Aku terus saja mengusirnya dari memori hidupku. Dengan keras
aku melarangnya kembali. Berjalan pada memori baru dan menghempaskan kenangan.
Aku sudah melakukannya. Tapi… bagaimana bisa rasa itu terhenti jika kamu selalu
saja muncul di hadapanku ?! menyumbat kedua telingaku saat hampir mendengar
candaanmu di seberang sana, menutup kedua mataku saat tidak sengaja bertemu
denganmu, menutup hidungku saat aroma khasmu hampir tercium olehku. Haruskah
aku melakukannya ?
Dear, a man…
Aku tengah terbenam dalam kebingungan akan konsep hati yang berakar
terlalu dalam. Sampai-sampai dimanapun kamu berada, tidak pernah sekalipun
pandanganku tidak melihatmu. Dan telingaku yang terlalu peka dengan suaramu.
Seakan-akan aku tengah berada di dunia magic yang semuanya terjadi dengan
kekuatan sihir.
Berpura-pura tidak mengenalmu, itu sangat menyakitkan. Menahan
senyumanku setiap kali bertemu denganmu, itu seperti tangisan. Menghentikan
getaran halus pertemuanku denganmu yang tanpa sengaja, itu lebih persis seperti
ledakan. Aku sudah seperti orang aneh mencari alasan hati yang dengan mudahnya
mencintaimu tapi begitu sulitnya melupakanmu.
“Gadis tak tau malu”
Haruskah sebutan itu yang akan
aku terima ? tidak mungkin aku dengan beraninya terus mencintaimu sementara di
saat yang sama kamu mencintai orang lain. Aku yang dengan semangatnya berlari
ke arahmu, dan di saat yang sama kamu berlari ke arah orang lain. Bagaimana bisa cerita itu terjadi ? menurutku itu hanya akan terjadi
di film-film. Teramat dalam keinginanku menjadi “gadis terhormat” yang sejatinya
mencintai seorang laki-laki yang juga mencintainya. Tanpa harus mengetuk
kenyataan pada “cinta satu hati”.
Dear, a man…
Caraku meyakinkan diriku untuk melumpuhkan semuanya selalu saja gagal.
Mustahil untukku mengatakan “cinta pertama” alasannya. Hingga segila ini belum
bisa melupakannya. Perjalananku melupakanmu mungkin akan sedikit berhasil jika
saja tidak ada ingatan itu yang tiba-tiba muncul. Tidak perlu orang lain yang
membuatku kembali mengingatmu. Sosok wanita paruh baya yang teramat ku cintai
bahkan menanyakanmu. Aku masih tidak mengerti alasannya tau dan memberitahuku
tentang keluargamu.
seorang gadis yang terbenam perasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar