Yeah, Love Rain with You
Kamu yang
menyatukanku dengan hujan…
Hujan menyimpan banyak cerita. Tak pernah
sekalipun hujan menghianati kesaksiannya atas segala yang terjadi. Hujan datang
sesuka hatinya, tanpa permisi dan tanpa sepatah katapun ia merajai bumi. Hanya
kebisuan yang terdaftar dalam kehidupannya. Tak jarang hujan dituduh sebagai
penyebab kesedihan dan kegalauan bagi setiap orang yang teringat akan
kenangannya. Benarkah hujan seperti itu ? tersesat dalam ocehan tanpa arah, terabaikan
di sudut keramaian. Entah bagaimana tanyaku tentang hujan akhirnya terjawab.
~~~
Hujan kembali mengetuk bumi dan menunjukkan
wujudnya yang sangat ku benci. Saat itu, tepat seorang laki-laki yang sudah ku
anggap sahabat duduk di sampingku.
“Al, kenapa
setiap kali hujan turun, kamu nggak pernah mau liat ataupun denger suaranya.
Padahal kan hujan sangat menakjubkan.”
“Alya benci hujan. Hujan yang udah bunuh Mas
Surya.”
Mendengar pengakuanku, Arya tertawa. Tentu
saja hal itu membuatku merasa aneh.
“Kok Arya ketawa sih ?”
“Lasingan kamu ada-ada aja. Mana ada hujan
bunuh manusia ? yang ada itu hidup dan mati setiap orang ada di tangan Tuhan.
Lagipula aku udah tau kejadian yang menimpa mas kamu.”
“Ah Arya sok tau. Alya kan nggak pernah
cerita.”
“Nggak penting. Intinya, Mas Surya meninggal
bukan karena hujan. Tapi, karena itu udah emang takdirnya. Coba Alya fikirin
baik-baik, kalau emang hujan bisa bunuh seseorang, kenapa hujan nggak bunuh
orang-orang yang beraktivitas waktu hujan ? termasuk Arya.”
“Iya sih. Tapi kan Mas Surya meninggal waktu
hujan turun.”
“Alya… mau waktu hujan, mau waktu nggak
hujan. Kapanpun dan dimanapun itu, kalau Tuhan udah maunya seperti itu nggak
akan ada satupun yang bisa menghentikannya. So, Alya jangan benci lagi dong
sama hujan. Biar bagaimanapun juga hujan adalah rahmat dari Tuhan yang harus
kita syukuri, meskipun hujan meninggalkan banyak kesedihan untuk kita.”
Aku hanya diam mendengarkan penuturan Arya.
Sejak itu, aku tidak lagi membenci hujan. Aku
mulai mencoba menerima hujan dengan keadaannya. Setiap hujan menyapaku, aku
selalu menyambutnya dengan senyuman. Setelah aku fikir-fikir, ternyata benar
apa yang waktu itu dikatakan Arya bahwa hujan itu menakjubkan. Aku membayangkan
jika tak ada hujan, tak akan ada yang mengimbangi panasnya matahari. Tak akan
ada tirai persembunyian air mata kegalauan. Juga, tak akan sempurna musim
kehidupan yang teralun di bumi.
~~~
Sore itu, bunda menyadarkan lelapku.
Memintaku segera membersihkan diri dan berpakaian rapi. Aku yang belum menyatu
sepenuhnya dengan kesadaran dan dengan mata yang terlalu sipit langsung
beranjak tanpa rasa aneh ataupun sebuah pertanyaan. Setelah mandi, aku baru
sadar apa yang diperintahkan bunda. Kemudian, usai berapi-rapi aku langsung
menemui bunda yang sudah menungguku di dalam mobil.
“Kita mau kemana, bunda ? kok tumben
sore-sore ngajak Alya pergi ?”
“Kita mau ke Airport, sayang.”
“Haa ? emang siapa yang mau pergi ? kok bunda
nggak pernah cerita apa-apa sama Alya ? ayah juga. Terus kita mau kemana bunda
? Luar kota atau luar negeri ?”
Ayah yang sejak tadi sibuk dengan elektronik
gengggamnya angkat bicara dan menjelaskan semuanya padaku.
“Alya… bukan kita yang akan pergi, tapi om
Rendra dan Arya. Mereka akan berangkat ke Jerman hari ini. Alya perlu salam
perpisahan kan sama Arya. Udah, pokoknya ikut aja.”
Apa ? Arya akan berangkat ke Jerman ? ah
tidak-tidak. Ini pasti akibat tidur yang terlalu lelap semalam. Aku terus
meyakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi. Namun, beberapa saat kemudian keraguan
itu terjawab saat aku tengah melangkahkan kaki di Airport. Tidak jauh dari
tempatku berdiri, terlihat sesosok pemuda yang sangat ku kenal. Ya, itu Arya. Sesaat,
aku sudah berada di luar Airport dan Arya berdiri tepat di sampingku.
“Katanya Arya mau berangkat ke Jerman hari
ini.”
Tidak ada satupun huruf yang terucap di bibir
Arya. Sejak tadi dia hanya memilih terdiam dalam makna yang sulit ku mengerti.
Kemudian, hujan turun dengan teka-teki yang masih coba ku cari jawabannya.
“Kenapa Arya nggak pernah cerita sama Alya ? sampai
harus ayah dan bunda yang kasi tau Alya. Apa Arya nggak pernah anggap Alya
sebagai sahabat ?”
“Enggak kok. Malah lebih dari sahabat. Hanya
saja Arya nggak tau cara ngungkapinnya.”
Kalimat yang Arya ucapkan sukses memaksa
mataku menatapnya. Ada segumpal batu yang menyumbat aliran darahku dan mengubah
kesunyian jadi getaran dahsyat yang melanda perasaanku. Arya menyadarkan
keharuanku dan memintaku mengulurkan tangan, merasakan butiran hujan yang
turun.
“Apa Alya percaya dengan jodoh ? Arya nggak
tau kapan kita akan ketemu lagi. Tapi Alya jangan khawatir, saat kita ketemu
lagi, itu adalah jodoh. Menit ini, hujan jadi saksinya. My heart is loving you,
Alya.”
“My heart is loving you too, Arya.”
Aku akan selalu merindukanmu dalam hatiku,
Arya. Aku akan menunggumu kembali.
Continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar