Sabtu, 17 Januari 2015

Cerpen


Yeah, Love Rain with You

Kamu yang menyatukanku dengan hujan…

Hujan menyimpan banyak cerita. Tak pernah sekalipun hujan menghianati kesaksiannya atas segala yang terjadi. Hujan datang sesuka hatinya, tanpa permisi dan tanpa sepatah katapun ia merajai bumi. Hanya kebisuan yang terdaftar dalam kehidupannya. Tak jarang hujan dituduh sebagai penyebab kesedihan dan kegalauan bagi setiap orang yang teringat akan kenangannya. Benarkah hujan seperti itu ? tersesat dalam ocehan tanpa arah, terabaikan di sudut keramaian. Entah bagaimana tanyaku tentang hujan akhirnya terjawab.

~~~

Hujan kembali mengetuk bumi dan menunjukkan wujudnya yang sangat ku benci. Saat itu, tepat seorang laki-laki yang sudah ku anggap sahabat duduk di sampingku.
 “Al, kenapa setiap kali hujan turun, kamu nggak pernah mau liat ataupun denger suaranya. Padahal kan hujan sangat menakjubkan.”
“Alya benci hujan. Hujan yang udah bunuh Mas Surya.”
Mendengar pengakuanku, Arya tertawa. Tentu saja hal itu membuatku merasa aneh.
“Kok Arya ketawa sih ?”
“Lasingan kamu ada-ada aja. Mana ada hujan bunuh manusia ? yang ada itu hidup dan mati setiap orang ada di tangan Tuhan. Lagipula aku udah tau kejadian yang menimpa mas kamu.”
“Ah Arya sok tau. Alya kan nggak pernah cerita.”
“Nggak penting. Intinya, Mas Surya meninggal bukan karena hujan. Tapi, karena itu udah emang takdirnya. Coba Alya fikirin baik-baik, kalau emang hujan bisa bunuh seseorang, kenapa hujan nggak bunuh orang-orang yang beraktivitas waktu hujan ? termasuk Arya.”
“Iya sih. Tapi kan Mas Surya meninggal waktu hujan turun.”
“Alya… mau waktu hujan, mau waktu nggak hujan. Kapanpun dan dimanapun itu, kalau Tuhan udah maunya seperti itu nggak akan ada satupun yang bisa menghentikannya. So, Alya jangan benci lagi dong sama hujan. Biar bagaimanapun juga hujan adalah rahmat dari Tuhan yang harus kita syukuri, meskipun hujan meninggalkan banyak kesedihan untuk kita.”

Aku hanya diam mendengarkan penuturan Arya. 

Sejak itu, aku tidak lagi membenci hujan. Aku mulai mencoba menerima hujan dengan keadaannya. Setiap hujan menyapaku, aku selalu menyambutnya dengan senyuman. Setelah aku fikir-fikir, ternyata benar apa yang waktu itu dikatakan Arya bahwa hujan itu menakjubkan. Aku membayangkan jika tak ada hujan, tak akan ada yang mengimbangi panasnya matahari. Tak akan ada tirai persembunyian air mata kegalauan. Juga, tak akan sempurna musim kehidupan yang teralun di bumi. 

~~~

Sore itu, bunda menyadarkan lelapku. Memintaku segera membersihkan diri dan berpakaian rapi. Aku yang belum menyatu sepenuhnya dengan kesadaran dan dengan mata yang terlalu sipit langsung beranjak tanpa rasa aneh ataupun sebuah pertanyaan. Setelah mandi, aku baru sadar apa yang diperintahkan bunda. Kemudian, usai berapi-rapi aku langsung menemui bunda yang sudah menungguku di dalam mobil.
“Kita mau kemana, bunda ? kok tumben sore-sore ngajak Alya pergi ?”
“Kita mau ke Airport, sayang.”
“Haa ? emang siapa yang mau pergi ? kok bunda nggak pernah cerita apa-apa sama Alya ? ayah juga. Terus kita mau kemana bunda ? Luar kota atau luar negeri ?”
Ayah yang sejak tadi sibuk dengan elektronik gengggamnya angkat bicara dan menjelaskan semuanya padaku.
“Alya… bukan kita yang akan pergi, tapi om Rendra dan Arya. Mereka akan berangkat ke Jerman hari ini. Alya perlu salam perpisahan kan sama Arya. Udah, pokoknya ikut aja.”

Apa ? Arya akan berangkat ke Jerman ? ah tidak-tidak. Ini pasti akibat tidur yang terlalu lelap semalam. Aku terus meyakinkan diriku bahwa ini hanya mimpi. Namun, beberapa saat kemudian keraguan itu terjawab saat aku tengah melangkahkan kaki di Airport. Tidak jauh dari tempatku berdiri, terlihat sesosok pemuda yang sangat ku kenal. Ya, itu Arya. Sesaat, aku sudah berada di luar Airport dan Arya berdiri tepat di sampingku.

“Katanya Arya mau berangkat ke Jerman hari ini.”

Tidak ada satupun huruf yang terucap di bibir Arya. Sejak tadi dia hanya memilih terdiam dalam makna yang sulit ku mengerti. Kemudian, hujan turun dengan teka-teki yang masih coba ku cari jawabannya.
“Kenapa Arya nggak pernah cerita sama Alya ? sampai harus ayah dan bunda yang kasi tau Alya. Apa Arya nggak pernah anggap Alya sebagai sahabat ?”
“Enggak kok. Malah lebih dari sahabat. Hanya saja Arya nggak tau cara ngungkapinnya.”

Kalimat yang Arya ucapkan sukses memaksa mataku menatapnya. Ada segumpal batu yang menyumbat aliran darahku dan mengubah kesunyian jadi getaran dahsyat yang melanda perasaanku. Arya menyadarkan keharuanku dan memintaku mengulurkan tangan, merasakan butiran hujan yang turun.
“Apa Alya percaya dengan jodoh ? Arya nggak tau kapan kita akan ketemu lagi. Tapi Alya jangan khawatir, saat kita ketemu lagi, itu adalah jodoh. Menit ini, hujan jadi saksinya. My heart is loving you, Alya.”
“My heart is loving you too, Arya.”

Aku akan selalu merindukanmu dalam hatiku, Arya. Aku akan menunggumu kembali.


Continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar