Kamis, 03 April 2014

Cerpen ~ "Sail without a boat"

Part I 



Siapakah yang mampu bahagia tanpa orang tua yang utuh ?

     Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana dan hidup sebagai seorang anak tanpa ibu sempat membuatku kehilangan asa hidupku. Seorang ibu yang selalu menguatkanku dalam setiap nafas hidupku, yang selalu menemani langkahku ke manapun, kini telah pergi untuk selamanya. Ibu menghembuskan nafas terakhir saat aku masih duduk di bangku SD. Yang akhirnya memaksaku berlayar tanpa perahu. Apalagi setelah ayah menikah lagi. Ayah jarang di rumah, tak perduli lagi padaku, tak pernah ada waktu untukku dan sikapnya padaku tak seindah dulu saat ibu masih ada. Bahkan tak pernah ayah memberiku uang jajan sepeserpun. Oh Tuhan.. kehidupan yang ku jalani sangat tak adil untukku.

      Pernah suatu sore aku minta baju seragam baru pada ayah, karena seragam ku yang sekarang sudah lusuh. Hal itu membuat murid lainnya mengejekku bahkan aku sampai ditegur wali kelas. “kau sudah besar, kau kan bisa beli sendiri. Ayah sibuk.. jadi jangan ganggu ayah.” Itu jawaban yang ku dapatkan dari ayah. Ucapan pahit yang seakan menyambar bagai petir di hatiku. Aku berlari ke tempat di mana aku biasanya mencurahkan segenap perasaanku. Jika kebanyakan orang sibuk dengan deary mereka, maka aku hanya sibuk dengan sebuah pohon besar dan beberapa pohon bambu. Kehidupan yang tak pernah berpihak padaku membuat tak seorang pun melihat keberadaanku. Aku menangis sejadi-jadinya, membayangkan betapa pahitnya perjalanan hidupku. Tak lama hujan turun begitu derasnya menyapu semua butiran air mata yang membanjiri wajahku.

       Esok paginya aku bersiap menuju Sekolah dan terpaksa menggunakan seragam lusuh itu lagi. Seperti biasa, aku meluncur ke Sekolah bersama sepeda mungil pemberian ibu. Jarak rumahku dengan Sekolah lumayan jauh. Bahkan hingga harus melewati rimbunan pohon dan menyeberangi sebuah sungai dangkal yang penuh bebatuan agar aku bisa sampai ke Sekolah yang berada di tepian jalan raya. Tak jarang terjatuh dan air mata menemani setiap goncangan kaki ku. Adakah yang mendengar  jeritanku ? Sekolah bersama sepeda mungil, perjalanan seorang diri di tengah hutan. Belum berakhir…Penderitaanku tak hanya di perjalanan saja, tapi juga di Sekolah. Saat wali kelas ku membagikan selembar kertas yang ternyata undangan bagi siswa beserta orang tua untuk hadir pada acara  penyuluhan motivasi terhadap siswa dalam menghadapi Ujian Nasional. Maklumlah sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Oh.. betapa gembiranya teman-temanku. Sedangkan aku ? Siapa yang akan datang ? Ayah kah ? Entahlah.

       Tiba di rumah, aku memberikan undangan itu pada ayah. Berharap ayah bersedia datang. Dan ternyata kembali ucapan pahit yang harus ku terima. Tak sedikitpun pengertian ayah untukku. Tak ku sangka ayah begitu tega padaku. Dia malah menyuruh datang ibu tiri ku yang sudah jelas menolak karena memiliki kesibukannya sendiri. Sangat ingin rasanya aku menangis dan memohon di hadapan ayah saat itu juga, tapi aku sadar itu tak akan berbuah manis. Lalu siapa yang akan datang ? Siapa yang akan mendampingiku dalam acara itu ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar