Kamis, 03 April 2014

Part II



Malam nya aku bertemu dengan seorang wanita cantik bergaun putih, yang ternyata itu adalah ibu yang sangat ku rindukan.

“Ibu…” ujarku sambil memeluknya erat. Tak terasa butiran air mata ku jatuh di pelukannya.

“Bersabarlah sayang. Semua akan indah pada waktunya.” Ucap ibu sambil menenangkanku.

“Hidup itu tak adil bu.” Lirihku tersedu.

“Tidak sayang. Hidup itu bahkan sangat adil. Jika bukan karena hidup, kau tak akan memiliki kesempatan melihat indahnya semua ciptaan Tuhan seperti saat ini.” Tutur ibu begitu lembutnya.

“Jika ia. Kenapa hidup itu tak pernah berpihak padaku, ibu ? Hidup juga yang membuatku terlahir dengan berjuta air mata.” Sesalku pada ibu.

“Anakku.. Tuhan menciptakan kehidupan itu bagaikan sebuah roda yang selalu berputar. Tak mungkin hidup itu hanya berpihak pada satu tempat. Apa ia jika semua kehidupan itu tak ada air mata ? Justru kau harus bersyukur anakku dan kau tidak perlu sesal dengan kehidupan yang kau jalani. Coba kau renungkan, setelah hujan pasti ada pelangi dan matahari. Begitu pula dengan kehidupan, setelah air mata pasti ada senyuman dan kebahagiaan. Tapi kau harus sabar menantikannya, anakku.” Jelas ibu padaku.

“Aku hanya seorang anak yang sangat malang bu. Kini tak ada lagi yang menyayangiku seperti ibu menyayangiku dulu.” Tutur ku pada ibu.

“Ibu mengerti perasaanmu, sayang. Meskipun begitu, ibu yakin kau bisa melewati semuanya. Bermain lah dengan alam yang ada di sekitarmu, karena nantinya alam itu yang akan memberikanmu kehidupan. Kau anak ibu yang tegar, bukan ? Jangan takut sayang.. Ibu selalu menemanimu dari sana. Ibu tak akan pernah jauh darimu.” Ujar ibu sambil memelukku kembali.

“Ibu… “ Teriakku pada sosok ibu yang pergi begitu saja. Membuatku terbangun dari tidurku. Ternyata itu mimpi. Aku masih bingung dengan ucapan ibu. Apa iya alam yang akan memberiku kehidupan ?

Di Sekolah. Hanya aku seorang yang hadir tanpa orang tua ku. Teman-temanku begitu gembiranya bergandengan dengan orang tuanya masing-masing. Saat wali kelas ku bertanya, ku beralasan orang tuaku berhalangan untuk hadir. Betapa pedihnya hati ini. Andai saja saat ini ibu ada di sampingku. Aku akan sangat bahagia.

Beberapa hari kemudian..

Penderitaanku terasa lengkap saat ayah berpamitan padaku tentang kunjungannya ke kota untuk mencoba bisnis. Dia bilang akan pergi bersama ibu tiri ku dan tak tahu kapan kembali. Tak sedikitpun ayah memikirkanku. Sibuk dengan urusannya, berlalu dan meninggalkanku begitu saja. Itulah ayah. Sekarang.. dengan siapa aku harus hidup ? Bisakah aku hidup sendiri dengan uang hanya beberapa lembar saja ? Ibu.. Ayah.. kenapa kalian meninggalkanku ?

Sejak kepergian ayah. Dia tak pernah memberi kabar ataupun mengimkanku uang. Hari demi hari ku jalani seorang diri di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Tapi aku tidak boleh cengeng, ibu bilang harus yakin pada diri kita sendiri. Karna itu aku mencoba membuat kerajinan tangan dari bambu untuk menghidupi diri ku sendiri. Setelah itu sebelum berangkat sekolah, ku sempatkan untuk menitipkan kerajinan itu di toko dekat Sekolah ku. Pulangnya baru ku ambil setengah dari hasil penjualannya. Begitu juga setiap harinya. Hingga akhirnya aku bisa membeli seragam baru dan menjalani hidup ku sendiri. Suatu hari di Sekolah, aku ikut serta dalam lomba menulis novel se-Provinsi. Meskipun aku tak bisa berharap banyak, tapi aku tetap optimis. Dan aku mengirimkan satu novel karyaku yang sudah ku selesaikan beberapa waktu lalu. Sebuah novel tentang kehidupan yang ku jalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar