Part II
Malam nya aku bertemu dengan seorang
wanita cantik bergaun putih, yang ternyata itu adalah ibu yang sangat ku
rindukan.
“Ibu…” ujarku sambil memeluknya erat.
Tak terasa butiran air mata ku jatuh di pelukannya.
“Bersabarlah sayang. Semua akan indah
pada waktunya.” Ucap ibu sambil menenangkanku.
“Hidup itu tak adil bu.” Lirihku
tersedu.
“Tidak sayang. Hidup itu bahkan sangat
adil. Jika bukan karena hidup, kau tak akan memiliki kesempatan melihat
indahnya semua ciptaan Tuhan seperti saat ini.” Tutur ibu begitu lembutnya.
“Jika ia. Kenapa hidup itu tak pernah
berpihak padaku, ibu ? Hidup juga yang membuatku terlahir dengan berjuta air
mata.” Sesalku pada ibu.
“Anakku.. Tuhan menciptakan kehidupan
itu bagaikan sebuah roda yang selalu berputar. Tak mungkin hidup itu hanya
berpihak pada satu tempat. Apa ia jika semua kehidupan itu tak ada air mata ?
Justru kau harus bersyukur anakku dan kau tidak perlu sesal dengan kehidupan
yang kau jalani. Coba kau renungkan, setelah hujan pasti ada pelangi dan
matahari. Begitu pula dengan kehidupan, setelah air mata pasti ada senyuman dan
kebahagiaan. Tapi kau harus sabar menantikannya, anakku.” Jelas ibu padaku.
“Aku hanya seorang anak yang sangat
malang bu. Kini tak ada lagi yang menyayangiku seperti ibu menyayangiku dulu.”
Tutur ku pada ibu.
“Ibu mengerti perasaanmu, sayang.
Meskipun begitu, ibu yakin kau bisa melewati semuanya. Bermain lah dengan alam
yang ada di sekitarmu, karena nantinya alam itu yang akan memberikanmu
kehidupan. Kau anak ibu yang tegar, bukan ? Jangan takut sayang.. Ibu selalu
menemanimu dari sana. Ibu tak akan pernah jauh darimu.” Ujar ibu sambil memelukku
kembali.
“Ibu… “ Teriakku pada sosok ibu yang
pergi begitu saja. Membuatku terbangun dari tidurku. Ternyata itu mimpi. Aku
masih bingung dengan ucapan ibu. Apa iya alam yang akan memberiku kehidupan ?
Di Sekolah. Hanya aku seorang yang hadir
tanpa orang tua ku. Teman-temanku begitu gembiranya bergandengan dengan orang
tuanya masing-masing. Saat wali kelas ku bertanya, ku beralasan orang tuaku
berhalangan untuk hadir. Betapa pedihnya hati ini. Andai saja saat ini ibu ada
di sampingku. Aku akan sangat bahagia.
Beberapa hari kemudian..
Penderitaanku terasa lengkap saat ayah
berpamitan padaku tentang kunjungannya ke kota untuk mencoba bisnis. Dia bilang
akan pergi bersama ibu tiri ku dan tak tahu kapan kembali. Tak sedikitpun ayah
memikirkanku. Sibuk dengan urusannya, berlalu dan meninggalkanku begitu saja. Itulah
ayah. Sekarang.. dengan siapa aku harus hidup ? Bisakah aku hidup sendiri
dengan uang hanya beberapa lembar saja ? Ibu.. Ayah.. kenapa kalian
meninggalkanku ?
Sejak kepergian ayah. Dia tak pernah
memberi kabar ataupun mengimkanku uang. Hari demi hari ku jalani seorang diri
di sebuah desa terpencil di tengah hutan. Tapi aku tidak boleh cengeng, ibu
bilang harus yakin pada diri kita sendiri. Karna itu aku mencoba membuat
kerajinan tangan dari bambu untuk menghidupi diri ku sendiri. Setelah itu
sebelum berangkat sekolah, ku sempatkan untuk menitipkan kerajinan itu di toko
dekat Sekolah ku. Pulangnya baru ku ambil setengah dari hasil penjualannya.
Begitu juga setiap harinya. Hingga akhirnya aku bisa membeli seragam baru dan
menjalani hidup ku sendiri. Suatu hari di Sekolah, aku ikut serta dalam lomba
menulis novel se-Provinsi. Meskipun aku tak bisa berharap banyak, tapi aku
tetap optimis. Dan aku mengirimkan satu novel karyaku yang sudah ku selesaikan
beberapa waktu lalu. Sebuah novel tentang kehidupan yang ku jalani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar